Minggu, 05 Oktober 2014

MENGAPA KIBASY DIKURBANKAN SEBAGAI SEMBELIHAN

          Guru kami almarhum Kh.Abdul Halim dan beberapa ulama  perna mengatakan yang intinya bahwa :  “Sifat sifat kambing itu sangat mirip sifat negative yang ada pada manusia” saya memberi contoh misalnya kambing itu :
1.Susah diatur
2.Bergerak Maunya sendiri
3.Kata guru saya tidak ada satupun hewan kambing yang biasa terpelajar untuk sirkus seperti halnya binatang yang lain misalnya kucing , gajah , anjing dsb….
4.Suka berstubuh diwaktu yang tidak semestinya atau bahkan Suka selingkuh
5.Dan lain sebagainya



          Kata kata guru saya diatas dikuatkan pula oleh pernyataa Al-Imam gozhali seperti berikut ini :
Imam Ghazali menegaskan bahwa: Penyembelihan hewan qurban adalah sebagai simbol dari penyembelihan atau penghilangan sifat-sifat kebinatangan yang ada pada manusia, seperti sifat rakus, tamak, serakah, dan mau menang sendiri. Dengan berqurban, diharapkan semua manusia dapat membuang sifat-sifat kebinatangan yang dapat mendatangkan musibah dan bencana itu

          Dalam suatu artikel saya menemukan kata kata begini :
“Manusia berwatak kambing adalah manusia tanpa tuntutan, pingin maunya sendiri. Menjadi anak buah, senangnya hanya mendemo; menjelek-jelekkan; dan jika bisa, melengserkan. Tetapi, jika giliran menjadi pemimpin, ujungnya sama saja; korupsi, manipulasi, kolusi, dan berbagai si si si lainnya. Kambing juga sulit dikendalikan. Kalau disuruh jalan sendiri, arahnya tak karuan arah. Ketika dituntun dari depan mereka tak mau jalan alias "nggandoli". Sementara itu, jika dituntun dari belakang, mereka malah belok ke kanan atau kiri. Lebih dari itu, jika melihat betina lain, mereka selalu ingin menjadikannya 'istri'. Begitu pula jika ada makanan, kambing tega menyerang yang lain agar tak kebagian.
           Berikut ini ada kisah yang saya ambil dari salah satu artikel , silahkan dipelajari sebagai berikut :
DUA santri kecil asyik memandangi lima kambing kurban, sumbangan seorang
pejabat. "Hebat ya, kambing itu warnanya hitam semua? Apa nggak sulit ya
mencarinya?" ujar Ahmad kepada Hamid.

      "Ya nggak-lah? Zaman sekarang, gampang nyari-nya; kakekku juga punya,"
jawab Hamid. Menurut dia, kakeknya justru sangat sayang pada kambing yang
berwarna itu.

      "Iiih, ngeri. Kalau saya nggak mau memelihara kambing hitam. Takut
seperti bapakku. Kata ibu, bapakku dulu pernah dipenjara dan dipukuli gara-gara
kambing hitam," ujar Ahmad.

      "Kok bisa?"

      "Masalahnya, Bapakku kan ingin kambing hitam, lalu, habis subuh, kambing
yang putih dibawa ke pasar untuk ditukar dengan yang hitam. Karena jaraknya
jauh, pulang ke rumah malam."

      Besoknya, ujar Ahmad, kambing tetangga hilang. Kebetulan, kambing yang
dari pasar itu bekas punya tetangga. Anak sulungnya yang nakal, menjual kepada
seseorang tanpa sepengetahuan bapaknya. Bapakku dituduh mencuri.

      "Kalau begitu, kita harus cepat-cepat lapor Pak Kiai, jangan-jangan
kambing hitam ini juga curian. Bisa-bisa Pak kiai juga nanti masuk penjara,"
ajak Hamid.

      Mendengar cerita kedua santrinya, Sang Kiai tersenyum. "Nak, kambing
hitam itu artinya dua; memang kambing warnanya hitam atau orang yang
dikorbankan padahal sebenarnya dia tidak bersalah. Seperti bapakmu itu, Ahmad?"

      Keduanya mengangguk. "Tapi kenapa mesti disebut kambing hitam? Kenapa
nggak sapi, monyet atau kecoa?" tanya Ahmad.

      "Karena kambing biasa diternak manusia. Lagi pula, perilaku buruknya,
mirip seperti manusia yang kehilangan akal sehat."

      "Contoh Pak Kiai?" kejar Hamid.

      "Kambing itu sulit dikendalikan. Kalau disuruh jalan sendiri tak keruan
arah, dituntun dari depan tak mau jalan alias nggandoli, sementara dituntun
dari belakang malah belok ke kanan atau kiri."

      "Maksudnya Pak Kiai?" tanya Hamid penasaran.

      "Manusia yang berwatak kambing itu maunya tanpa tuntutan, semaunya
sendiri. Tetapi, kemudian bingung sendiri. Giliran disuruh mengikut seperti
jadi anak buah atau bawahan, kerjanya hanya mendemo, mengkritik,
menjelek-jelekkan, dan kalau bisa melengserkan. Tetapi, giliran disuruh di
depan, misalnya jadi pemimpin, ujung-unjung sama saja; nyeleweng. Ya korupsi,
manipulasi, kolusi, di si, si, si yang lain."

      "Kambing juga kan kalau ngeliat perempuan lain selalu ingin dijadikan
'istri'. Kalau ada makanan tega menyerang yang lain agar tak kebagian. Apa ada
manusia yang juga seperti itu?" tanya Ahmad.

      "Ya pasti ada. Itu makanya pada Iduladha yang mampu disuruh menyembelih
kambing?"

      "Maksudnya Pak Kiai?"

      "Allah sebenarnya bukan menyuruh Nabi Ibrahim menyembelih anaknya,
Ismail. Tetapi, bermaksud mengajari manusia agar membunuh sifat-sifat kambing
atau binatang, yang ada pada dirinya. Makanya saat pedang hampir mengenai leher
Nabi Ismail, Allah menggantinya dengan kambing."

      "Apakah dengan menyembelih kambing kurban berarti sifat-sifat kambing
orang yang berkurban akan hilang?" Ahmad bertanya lagi.

      "Ya tidak otomatis. Apalagi kalau kambing yang dikurbankan untuk orang
lain ternyata dibeli dari uang korupsi atau mencuri. Lalu, mengambing-hitamkan
orang yang diberi sebagai ikut makan uang korupsi atau curian. Itu justru lebih
buruk dari kambing hitam yang dikambing-hitamkan."

        Sebuah hadits menyatakan sebagiai dasar dari semua pernyataan penjelasan diatas sebagai berikut:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ: نَعَمْ ,كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ. (أخرجه البخاري)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Salam bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun melainkan dirinya pasti pernah menggembala kambing”. Maka para sahabatnya bertanya: ‘Apakah engkau juga wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Ya, Aku pernah mengembala kambing milik seorang penduduk Mekah dengan upah beberapa qirath”. (HR. Bukhari)

Wallohu’alam

Penyusun : Admin
Sumber : 40 Masalah Agama (40MA) Bagia kedua ,Penulis :Admin

Pracoba